Pengamen Menjamur, Salah Siapa?

Semakin banyak pengemis tumbuh di negara kita ini. Kali ini saya mau membahas khususnya pengamen. Kita bisa lihat pengamen di mana-mana khususnya di kota Jakarta. Kita bisa menjumpainya di jalanan, tempat makan, di bus umum, kereta api, dan lain-lain. Setiap saya melihat mereka, saya selalu berpikir mengapa mereka tetap bertahan menjadi pengamen?


Dan saya pernah mencoba menghitung-hitung berapa kira-kira pendapatan mereka setiap hari. Karena saya biasanya menemui mereka di bus umum, maka saya ingin menilai pendapatan pengamen yang di bus umum. Jika setiap mengamen mereka bisa mendapatkan hingga Rp 20.000,- per bus. Jika setiap harinya mereka bisa menaiki 20 bus saja, mereka bisa mengantongi hingga Rp 400.000,- per hari dan berapa jika sebulan? Rp 12.000.000,-. Benar-benar harga yang fantastis buat "pengamen". Tak heran jika mereka betak untuk menjadi pengamen.

Nah, sekarang siapakah yang salah? Apakah pengamen, pemberi sedekah, atau pejabat pemerintah? Pemerintah sudah mengeluarkan UU bahwa masyarakat tidak boleh memberikan uang sepeser pun untuk pengemis (dalam hal ini pengamen termasuk). Tetapi nyatanya semua masyarakat melanggar UU itu. Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat tetap memberikan sedikit uangnya seperti merasa iba, menyukai hiburannya, menghabiskan recehan, dan lain-lain.

Jadi harusnya pemerintah yang harus tegas membuat UU itu berjalan seperti yang diharapkan. Saya di sini bukan bermaksud melarang para pengamen mencari uang. Tetapi jika dengan penghasilan tersebut tentunya mereka senang menjadi pengamen dan ini pastinya membuat mental banyak masyarakat Indonesia menjadi mental "peminta-minta". Tentunya ini menjadi perhatian khusus bagi pemerintah, khususnya pemerintah kota Jakarta. Setidaknya membuat lapangan kerja yang cocok buat para pengamen jalanan.

إرسال تعليق

Post a Comment (0)

أحدث أقدم